Senin, 29 Agustus 2011 - 2 komentar

Idul Fitri 1432H (lebaranku sayang lebaranku delay)

Bulan Agustus ini, umat muslim di dunia melaksanakan ibadah puasa, tak terkecuali umat muslim di Indonesia. Hari ini telah menginjak hari ke dua puluh sembilan puasa atau sudah tanggal 29 ramadhan. Umat muslim di Indonesia mulai gelisah, galau dan gundah gulana menanti keputusan penetapan 1 Syawal 1432H, termasuk saya, hehehehe :D

Sejak petang hingga malam ini, beberapa stasiun televisi terus menayangkan pelaksanaan sidang isbat yang dilakukan pemerintah. Sidang di buka oleh Menteri Agama Republik Indonesia, Suryadharma Ali. Panjang dan lebar Sang Menteri memberi sambutan pembuka sidang isbat, hati ini penasaran dan menunggu-nunggu keputusan penetapan, demikian juga keluarga besar di Bandung ini. Pakdhe, Teteh Ine, Aa' Anton, Aa' Andre, Mama dan Saya menatap layar teve dengan penuh antusias., riuh rendah suara percakapan kami membicarakan keputusan yang akan di bacakan. Ketika keputusan penetapan di bacakan, kami terdiam, menyimak dengan seksama. Dan...akhirnya, pemerintah menetapkan 1 Syawal 1432H jatuh pada tanggal 31 Agustus 2011. Penetapan tersebut diakui oleh jamaah sidang isbat diperoleh berdasarkan ru'yatul hilal dan hisab. Karena saat ru'yatul hilal, diakui tidak tampak hilal (bulan sabit), sehingga dilakukan hisab. Berdasarkan hisab tersebutlah maka 1 Syawal 1432H ditetapkan pada tgl 31 Agustus 2011. Alhamdulillah, kami sekeluargapun lega, sudah ada kepastian tanggal 1 Syawal 1432H. Tapi ada satu anggota keluarga kami yang kecewa dan menangis, karena merasa di bohongi akan datangnya hari raya, yaitu keponakan saya, Aa' Fikri. Aa' Fikri (6th) merasa sudah melaksanakan puasa penuh dan bersuka cita menyambut hari raya Idul Fitri, kaget ketika mengetahui bahwa besok tidak jadi berHari Raya Idul Fitri. Dia marah pada orang tuanya karena merasa di bohongi...hihihi lucu juga si Aa' ini, masih polos dan lugu.

Meski pemerintah telah menetapkan tgl 31 Agustus 2011 sebagai 1 Syawal 1432H, beberapa masyarakat muslim akan mengakhiri ibadah puasa mereka hari ini, dan berhari raya Idul Fitri pada tanggal 30 Agustus 2011. Masyarakat tersebut mengaku telah melihat hilal, sehingga mereka memutuskan untuk mengakhiri ibadah puasa pada hari ini dan berhari raya Idul Fitri esok hari. Perbedaan ini sudah tidak aneh lagi di Indonesia, pada setiap tahun pasti ada beberapa masyarakat yang lebih awal melaksanakan Hari Raya Idul Fitri. 

Perbedaan penetapan 1 Syawal seringkali menjadi perdebatan di Indonesia, hal ini dikarenakan adanya perbedaan pendapat pada penentuan cara penetapan 1 Syawal yang terjadi pada ulama dan pemerintah. Beberapa ulama berpegang pada cara ru'yatul hilal untuk menentapkan 1 Syawal. Ulama yang berpegang pada cara ru'yatul hilal berlandaskan pada hadits riwayat bukhari yang berbunyi:
Rasulullah Shalallahu alaihi wa Sallam bersabda:
Berpuasalah berdasarkan ru'yatul hilal dan berhari rayalah berdasarkan ru'yatul hilal. Jika terhalangi oleh mendung (atau semisalnya) maka genapkan bilangan hari bulan tersebut menjadi 30 hari. (HR. Al-Bukhari)
Sedangkan pemerintah berpegang pada dua cara yaitu ru'yatul hilal dan hisab. Ru'yatul hilal merupakan pengamatan secara langsung pada penampakan bulan sabit, sedangkan hisab merupakan perhitungan berdasarkan ilmu Falak (Astronomi). Ketika pemerintah melakukan ru'yatul hilal dan mendapati tidak ada penampakan hilal (bulan sabit),atau hilal diduga belum terlihat, maka pemerintah melakukan hisab (info ini saya dapat dari pernyataan di sidang isbat hari ini, red), dan didapatkan penentuan 1 Syawal.

Perbedaan yang terjadi ini sering membuat rakyat awam seperti saya dan keluarga menjadi bingung, yaitu bingung akan mengikuti ketetapan yang mana, sebab beberapa masyarakat ada yang berhari raya lebih awal (tidak mengikuti ketetapan pemerintah) dan di sisi lain ada yang menepati ketetapan pemerintah. Kadang timbul keraguan pada diri, sebagai umat muslim harus mengikuti ketetapan yang mana?padahal sepertinya dari kedua pendapat adalah benar, lalu bagaimana seharusnya kita menyikapi hal ini?

Nabi Shalallahu alaihi wa Sallam bersabda:
Shaum (puasa) itu pada waktu berpuasanya kalian (kaum muslimin), Idul Fitri pada saat kalian (kaum muslimin) berhari raya Idul Fitri, dan berkurban pada saat kaum muslimin berkurban (HR. At-Tirmidzi dengan sanad shahih)
Ulama terpandang seperti Asy-Syaikh Al-Albani dan Asy-Syaikh Ibnul Utsaimin menasehatkan agar setiap muslim mengikuti pemerintahnya masing-masing. (Lihat Tamamul Minnah hal. 398 dan Asy-Syarhul Mumti 6/322). Meski telah jelas ulama menyatakan untuk mengikuti pemerintah, tapi masih saja beberapa masyarakat mengingkari dan berbuat apatis atau bahkan meremehkan pemerintah (termasuk saya, sebelum menulis blog ini, hehehe :D ). Banyak spekulasi yang muncul dari masyarakat, dan pernyataan-pernyataan yang tertulis di status media sosial dan tersirat kekecewaan, kemarahan dan menyudutkan pihak pemerintah. Berikut beberapa kutipan pernyataan dari masyarakat:
Kalau pemerintahnya peragu gini, lebaran dibikin galau!! Jutaan orang menanti kepastian dengan cepat..
Pemerintah yg peragu, tdk bisa belajar dari tahun-tahun sebelumnya!
Mau bagaimana lagi, kita dipimpin sama pemerintah yang peragu, yang lambaat..
Pada jago-jago ngutip Hadits dan Ayat Kitab... Padahal kelakuan mah sehari-hari ga pedulian sama umat...
disaat bangsa lain bisa pergi ke bulan,, bangsa indonesia masih bingung melihat bulan #doh
agama lain gak ada perbedaan dalam merayakan hari raya,, agamaku kok tak bisa??
Bener bgt..itulah indonesia.. :P
Perasaan masyarakat yang tertuang dalam tulisan tersebut mirip dengan perasaan yang di rasakan Aa' Fikri, kecewa karena Hari Raya di tunda. Perasaan tersebut tidak bisa disalahkan, karena begitulah sifat manusia, senang berkeluh kesah :)

Tapi, sebagai umat muslim, yang mengaku islam, tidak selayaknya kita menyudutkan pemerintah (bukan maksud membela pemerintah loh),mungkin memang selama ini kita melihat pemerintah sering mendzalimi rakyat (dalam sudut pandang sebagai masyarakat awam), namun rasul mengajarkan kita untuk tetap menaati pemerintah dalam hal bukan bermaksiat kepada Allah SWT, meski pemerintah berbuat dzalim.
 Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul-Nya, dan Ulil Amri di antara kalian. (An-Nisa: 59)

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
Barangsiapa menaatiku berarti telah menaati Allah, barangsiapa menentangku berarti telah menentang Allah, barangsiapa menaati pemimpin (umat)ku berarti  telah menaatiku, dan barangsiapa menentang pemimpin (umat)ku berarti telah menentangku. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata: Pada hadits ini terdapat keterangan tentang kewajiban menaati para penguasa dalam perkara yang bukan kemaksiatan. Adapun hikmahnya adalah untuk menjaga persatuan dan kebersamaan (umat Islam), karena pada perpecahan terdapat kerusakan. (Fathul Bari 13/120)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga bersabda:
Wajib bagi seorang muslim mendengar dan taat (kepada penguasa) dalam hal yang disukai atau tak disukai kecuali jika diperintahkan untuk bermaksiat maka tidak boleh mendengar dan taat. (HR. Al-Bukhari)
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata: Ulil Amri yang dimaksud adalah orang-orang yang Allah Subhanahu wa Ta'ala wajibkan untuk ditaati dari kalangan para penguasa dan pemimpin umat, inilah pendapat mayoritas ulama terdahulu dan sekarang dari kalangan ahli tafsir, fiqih, dan selainnya.(Syarh Shahih Muslim 12/222)

Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah berkata: Aku telah bertemu dengan 1000 orang lebih dari ulama Hijaz (Makkah dan Madinah), Kufah, Bashrah, Wasith, Baghdad, Syam dan Mesir. Lantas beliau berkata: Aku tidak melihat adanya perbedaan diantara mereka tentang perkara-perkara berikut ini: -beliau sebutkan sekian perkara diantaranya kewajiban menaati penguasa.(Syarh Ushulil I'tiqad Lalikai, 1/194-197)

Saya berpandangan bahwa, pada sekelompok makhluk hidup (bisa di sebut sebagai populasi) penting adanya keberadaan seorang pemimpin. Ingatkah pada pelajaran Biologi tentang perilaku hewan yang hidup berkelompok, mereka pasti memiliki pemimpin di dalamnya, di mana pemimpin tersebut yang mengatur kehidupan sosial dalam populasi tersebut. Mungkin pernah mendengar kawanan Gajah yang memiliki pemimpin dengan tugas sebagai penunjuk arah migrasi, mencarikan area dengan makanan berlimpah dan menjadi perantara antar kawanan Gajah. Bayangkan bila Gajah tersebut tidak memiliki pemimpin, maka kawanan akan semrawut, kehilangan arah untuk mencari tempat tinggal baru dan mungkin akan meninggal karena tidak mampu mencari daerah dengan makanan yang melimpah dan cukup. Begitu pula manusia. Tidak bisa dibayangkan betapa besarnya mafsadah (kerusakan) yang akan muncul ketika sebuah negara tanpa seorang pemimpin. Karena tabiat dasar manusia adalah suka berbuat zhalim, dan di lain sisi suka menuntut keadilan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
Sesungguhnya manusia pasti selalu berbuat zhalim dan pengingkaran. (Ibrahim: 34)
Al-Imam Ahmad rahimahullah berkata: âkan terjadi fitnah (kerusakan) jika tidak ada seorang pemimpin yang mengatur urusan manusia. (Diriwayatkan oleh Al-Khallal dalam kitab as-Sunnah 1/81)

Demikianlah, Allah menciptakan beragam jenis makhluk hidup dan menjadikan salah satu dalam jenis dan kelompoknya masing-masing seorang/seekor pemimpin untuk mengatur kehidupan sosial. Lantas bagaimana selanjutnya sikap kita sebagai warga Indonesia? dimana pemimpin kita yang telah tampak melakukan kedzaliman yg nyata: anggota DPR menuntut kenaikan gaji yg tinggi, sedangkan rakyatnya masih banyak yang makan nasi aking; Korupsi merajalela; Biaya pendidikan makin melangit; dan sebagainya. Ada beberapa hal yang dapat kita lakukan selaku rakyat Indonesia yang beragama Islam, diantaranya:


1. Taat kepadanya dalam hal yang bukan kemaksiatan
Salah seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam: Wahai Rasulullah! Kami tidak bertanya kepadamu tentang ketaatan (kepada penguasa) yang bertaqwa, akan tetapi yang kami  tanyakan adalah ketaatan terhadap penguasa yang berbuat demikian dan demikian (ia sebutkan kejelekan-kejelekannya). Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: Bertaqwalah kalian kepada Allah, dengarlah dan taatilah (penguasa tersebut).(HR. Ibnu Abi ‘Ashim dalam Kitab As-Sunnah 2/494)

2. Sabar atas Kezhalimannya
Sabar terhadap kezhaliman penguasa merupakan prinsip dasar Islam yang dibimbingkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam dan diterapkan oleh salafus shalih (pendahulu terbaik umat ini).
 Rasulullah Shallallahu alaihi wa Sallam bersabda:
Barangsiapa melihat suatu hal yang tidak disenangi pada penguasanya, maka bersabarlah karena barangsiapa yang memisahkan diri dari jama'ah (kaum muslimin) sejengkal kemudian mati maka ia mati jahiliah. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
 Al-Imam Ibnu Abil 'Iz Al-Hanafi rahimahullah berkata: Adapun kewajiban menaati mereka (penguasa) tetaplah berlaku walaupun mereka berbuat jahat, karena tidak menaati mereka dalam hal yang ma'ruf akan mengakibatkan kerusakan yang jauh lebih besar dari apa yang ada selama ini, dan di dalam kesabaran terhadap kejahatan mereka itu terdapat ampunan dari dosa-dosa serta (mendatangkan) pahala yang berlipat. (Syarh Al-Aqidah Ath-Thahawiyah, hlm. 368)

Suwaid bin Gafalah rahimahullah berkata: Telah berkata kepadaku Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu: Wahai Abu Umayyah, mungkin aku tidak bertemu engkau setelah tahun ini, maka jika engkau dipimpin oleh seorang budak dari Habasyah (Ethiopia) yang cacat hendaknya engkau dengar dan taat padanya, walau ia memukulmu (secara zhalim) tetaplah sabar dan jika ia menginginkan sesuatu yang akan mengurangi agamamu, katakanlah: Saya dengar dan taat dari jiwaku bukan agamaku, dan janganlah engkau berpisah dari jamaah. (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf. Lihat Aqiidah Ahlil Islam Fiima Yajibu Lil Imam)

Ka'ab Al-Ahbar rahimahullah berkata: Sultan (penguasa) adalah naungan Allah di bumi. Jika ia beramal ketaatan kepada Allah, baginya ajr (pahala) dan wajib bagi kalian untuk bersyukur. Jika ia berbuat maksiat, baginya dosa dan wajib bagi kalian untuk bersabar. Janganlah kecintaan kalian kepadanya menjerumuskan diri kalian ke dalam kemaksiatan dan jangan pula kebencian kepadanya mendorong kalian keluar dari ketaatan kepadanya.(Diriwayatkan pula oleh Al-Imam At-Tirmidzi dalam kitabnya An-Nashihah Lirr�’i  Warr�’iyah)
 3. Menasehatinya dengan cara yang baik
Tentunya sabar terhadap kezhaliman penguasa tidak menafikan (menghilangkan) adanya nasehat dan teguran padanya. Karena nasehat dan teguran merupakan salah satu hak penguasa yang wajib ditunaikan oleh setiap muslim. Selain itu nasehat dan teguran adalah pondasi agama yang dengannya akan kokoh agama ini. Terkhusus nasehat kepada para pemimpin sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam:
'Agama ini adalah nasehat (di antaranya) nasehat untuk pemerintah  dan seluruh elemen umat.' (Muttafaqun'alaihi)

 Diantara cara menasehati penguasa yang dibimbingkan dalam Islam adalah:
- Menasehatinya dengan rahasia (tersembunyi)
Menasehati penguasa secara terang-terangan dihadapan khalayak ramai, tidak dibenarkan dalam Islam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
“Barangsiapa yang ingin menasehati penguasa dengan sebuah nasehat, janganlah menyampaikannya secara terang-terangan, akan tetapi hendaklah ia mengambil tangannya dan bersendirian dengannya (berduaan untuk menasehatinya). Jika ia (penguasa tersebut) mau menerima nasehat maka itulah yang diharapkan, kalau tidak (menerima nasehat), maka sungguh ia (penasehat) telah menunaikan kewajibannya terhadap penguasa.� (HR. Ahmad)

Termasuk bagian dari nasehat kepada penguasa adalah mengingkari kemungkaran yang ada padanya. Namun semua itu harus dilakukan dengan penuh hikmah, tidak secara terang-terangan  serta tetap menjaga wibawa penguasa tersebut. Demikian pula tidak sepantasnya menyebutkan kemungkaran atau kezhaliman penguasa dihadapan rakyat walaupun dengan dalih nasehat. Baik dalam bentuk ceramah, khutbah jum'at, tabligh akbar, ataupun melalui media cetak seperti majalah, surat kabar, buletin, dan lain-lain.  Apalagi dengan menggelar demonstrasi yang jauh dari bimbingan Islam. Semua itu akan menimbulkan kebencian rakyat kepada penguasanya dan mendorong mereka untuk menentangnya.

- Tidak mengingkari kemungkaran yang ada dengan senjata (memberontak)
Tidak diragukan lagi bahwa mengangkat senjata (memberontak) kepada penguasa yang sah adalah tindakan separatis yang jelas-jelas menyelisihi Al-Qur’an dan as-Sunnah. Apapun alasannya, memberontak terhadap penguasa tidak bisa dibenarkan dalam Islam.
Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah ketika melihat seorang pemberontak di Kota Bashrah mengatakan: “Betapa kasihannya orang ini. Ia bermaksud mengingkari kemungkaran namun terjatuh pada sesuatu yang lebih mungkar (yaitu pemberontakan) (Diriwayatkan oleh Al-Ajurri dalam Asy-Syari'ah. Lihat Aqiidah Ahlil Islam Fiima Yajibu Lil Imam)

Abul Bakhtari rahimahullah berkata: Dikatakan kepada Hudzaifah Ibnul Yaman radhiyallahu 'anhu; tidakkah anda memerintahkan kepada yang ma'ruf dan mencegah yang mungkar? Beliau menjawab: Sungguh amar ma'ruf nahi mungkar adalah sebuah amal kebajikan, namun bukan merupakan sunnah (bimbingan Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam) engkau mengangkat senjata kepada pemimpinmu.(Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Al-Jami' Lisyu'abil Iman)
Demikianlah diantara prinsip Islam yang diwariskan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam dan generasi terbaik umat ini dalam menyikapi penguasa, termasuk yang zhalim di antara mereka. Berdasarkan uraian diatas, saya yang tidak memiliki kemampuan untuk memberikan nasehat secara langsung dan sembunyi-sembunyi kepada pemerintah , maka dari kesekian cara, saya memilih bersabar dan saya berpegang pada sabda Rasul SAW : Barangsiapa melihat suatu hal yang tidak disenangi pada penguasanya, maka bersabarlah karena barangsiapa yang memisahkan diri dari jama'ah (kaum muslimin) sejengkal kemudian mati maka ia mati jahiliah. (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Dan saya meyakini bahwa mereka-mereka yang terpilih sebagai pemimpin dan duduk dalam pemerintahan merupakan takdir yang telah ditetapkan Allah, jadi secara tidak langsung mereka-mereka adalah pilihan Allah SWT. Dengan demikian, mereka memegang amanah yang nantinya dipertanggungjawabka kepada Allah SWT. Jika dalam kepemimpinannya terjadi kedzaliman dan kemaksiatan kepada Allah SWT, maka dosa akan ditimpakan kepadanya, bukan pada rakyat.

So, sabar saja, menjalani ini semua. Tetap berkeyakinan Allah SWT itu Esa, Maha Pemurah, Maha Pengasih, Pemilik Ketetapan, Maha Berkehendak, dan Allah SWT mengetahui mana-mana yang baik bagi hambaNya.
 
allahu 'alam

dari berbagai sumber

nb: maaf buat mereka yg statusnya saya cantumkan sebagai contoh....maaaf...tidak bermaksud untuk menjelekkan atau menghina. Saya hanya ingin menunjukkan perasaan rakyat Indonesia terhadap perilaku pemerintah Indonesia.



Taqabbalallahu minna waminkum, taqabbal yaa karim...Minal Aidin Wal Faidzin, Mohon maaf lahir dan batin

2 komentar:

luxsman 30 Agustus, 2011

akibat hilal segaris, rusak opor ayam dan rendang sepanci

Rosidiani, Erta Puri 30 Agustus, 2011

eh sayang....di angetin lagi ajah opor dan rendangnya..sabar ya sayang.. :-*

Posting Komentar