Senin, 23 Juli 2012 - , , , , , , , , , , 1 komentar

Dosen vs Mahasiswa = Mala vs Maba

Pertengahan tahun, tepatnya bulan ke 7 dan 8 adalah saat musim penerimaan mahasiswa baru. Para mahasiswa senior mulai mempersiapkan segudang acara untuk penyambutan Juniornya a.k.a Mahasiswa baru (MABA). Mahasiswa senior ini mulai menata acara pengenalan kampus dan acara diklat. Acara ini menjadi ajang unjuk gigi mahasiswa senior memperkenalkan atmosfer perkuliahan sekaligus senioritas, ya seperti pemberitahuan secara tidak langsung terkait kedudukan dan level seorang senior terhadap junior. Dahulu diklat semacam ini identik dengan pendisiplinan maba secara arogan (pencacimakian, pemukulan, pelecehan harga diri sbg manusia, dsb), sejak terkuaknya kegiatan arogansi yang marak terjadi saat diklat maba di beberapa universitas negeri, maka saat ini kegiatan diklat maba yang dilakukan oleh mahasiswa senior tersebut dibatasi, dan bahkan di beberapa universitas dilarang.

Seiring dengan kesibukan mahasiswa lama mempersiapkan diklat, maka sibuk pula lah para dosennya. Berbeda dengan mahasiswa, para dosen tidak turut serta sibuk mempersiapkan acara diklat, melainkan sibuk mempersiapkan dan melayani ujian skripsi atau tesis atau disertasi bimbingannya. Maklum akhir semester dimanfaatkan penuh oleh mahasiswa mengejar deadline batas akhir kelulusan supaya tidak terkena pembayaran spp di semester depan. Ketegangan di akhir semester ini kadang kala memberikan tekanan mental yang besar baik bagi mahasiswa maupun dosen. Bagaimana tidak, dosen merasa dikejar tanggung jawab untuk meluluskan sekian banyak bimbingannya dalam waktu singkat, sedangkan mahasiswa dikejar tanggung jawab untuk segera lulus karena mendapat ultimatum dari ortu akan dihentikan uang saku dan pembayaran spp jika tidak lulus di semester tersebut. Walhasil, dosen dan mahasiswa sering mengalami perseteruan batin (haha, apa coba) yang menghasilkan mahasiwa kena marah dosen, dan dosen jadi sumber ghibah oleh mahasiswa karena kemarahannya. Hehehehe...
disisi lain meski terkadang dosen tidak menunjukkan kemarahannya secara langsung dan terang-terangan kepada mahasiswanya, tapi disampaikan melalui tulisan, dalam hal ini berimbas pada nilai ujian mahasiswa. Jadi ketika terjadi perseteruan batin ini, ada dosen yang dengan senang hati memebrikan nilai kurang bagus pada mahasiswanya dalam rangka melampiaskan amahrah dan atau memberi pelajaran. Based on my experience, hal ini tidak berlaku pada mahasiwa yang punya IPK diatas 3,7 - 4, apalagi punya sodara yg juga dosen dijurusan yg sama. Untuk mahasiswa satu ini, biasanya dosen cenderung memaafkan dan tidak mempermasalahkan serta tidak memberi nilai kurang. Kalo otaknya pas-pasan kayak saya, wah pas banget jadi bulan-bulanan dosen tipe ini, apalagi kalo sedikit saja melakukan kesalahan, wah habis sudah nilai saya...hahhaha.... :P
well, kejadian ini berasa sama kayak waktu diklat, dimana para senior tidak pernah mau memahami perasaan juniornya. Ingat kan peraturan yang diada-adakan oleh panitia diklat yang gak ada pembelaan untuk mahasiswa baru? itu tuh yang bunyinya gini:
1. Senior selalu benar
2. Jika terjadi kesalahan pada senior, maka kembali ke peraturan satu

hehehe...hal itu juga berlaku buat dosen loh...hahaha, jadi dosen itu selalu benar.....dan mahasiswa itu banyak salahnya...ternyata senioritas itu turun-temurun dan mendarah daging...hehehee.. so be wise ya.....

tulisan ini cuma iseng aja, jika terjadi kesalahan ketik, argumen dan data, maka kembali ke peraturan satu, yaitu penulis selalu benar...ahahhahaaa *kabuuur*

1 komentar:

luxsman 23 Juli, 2012

aku senior gak yah???

Posting Komentar